Jumat, 28 November 2008

Di Laut, Nelayan Sumbar Bisa Bangkitkan Nasionalisme

Enam kapal belum apa-apa, kalau mau mengibarkan bendera merah putih di tengah samudera!Tapi bagi kelompok Johny Halim Ja’far dkk yang tergabung dalam wadah Koperasi Jaya Samudera Padang, soal jumlah tak jadi persoalan benar. Dalam enam kapal tonda yang dimodifikasi dengan sentuhan teknologi tengkap ikan modern, tersimpan elan atau semangat untuk meneguhkan pendirian bahwa lautan kita adalah kekayaan kita. Oleh karena itu sekali-kali tidak boleh dijarah oleh orang asing.Ini cerita sejak hampir dua tahun silam, ketika pemerintah raji sekali mengumumkan bahwa triliunan kerugian negara akibat illegal fishing. Johny Halim, Zukri Saad, Patrik, Moyardi Kasim, Yogan Askan, Gusmardi Amir, Joni Harsumen, Refriadi, Yusril dan Mardi Tanjung lalu bersepakat mencari cara untuk mengerem kerugian negara itu. Paling tidak nelayan
Indonesia harus lebih banyak menikmati lautnya sendiri daripada dijarah oleh nelayan asing.
Nenek moyangku bangsa pelaut!Jalesveva jayamahe!Ini adalah semboyan-semboyan yang menjadi spirit bagi membangkitkan harkat dan martabat nelayan. Yang jadi masalah adalah bagaimana mau bertanding dengan nelayan asing penjarah kalau untuk bersanding saja dengan mereka kita belum sanggup.Kita kalah di teknologi, modal dan menajemen. Ketika ketiga-tiganya sama-sama lumpuh, maka kalau musim seperti empat bulan terakhir ini buruk, maka terpaksalah nelayan kita hanya mematut-matut kapal yang ditambatkan di dermaga. Modal tak ada, badai dan gelombang laut sangat buasnya.Di seluruh perairan Sumatra Barat menurut Johny Halim yang Ketua Kompartemen Kelautan Kadinda Sumbar itu, tak kurang dari seribu kapal tonda dengan beragam kondisi. Antara 300 sampai 400 unit berada di
Padang.
“Sejak empat bulan ini laut tak bersahabat. Nelayan di tengah dilema. Melaut rugi, tak melaut bisa mati. Jauh di tengah samudera dengan kapal-kapal canggih, orang asing berlantas angan pula menangkapi tuna berharga mahal. Kita gigit jari,” kata Johny Halim.Ia dan koperasinya memang sudah menyiapkan enam kapal tonda yang dimodifikasi menjadi kapal mini long liner. Kapal-kapal tadi sudah selesai dan siap membuang jangkar untuk menangkap tuna. Sayangnya badai pun datang.Tapi lepas dari badai datang, upaya yang dirintis Johny dan kawan-kawan itu adalah bukti bahwa masih ada harapan besar di tengah laut.Dua tahun lalu ia dan kawan-kawannya bertemu dengan Gusmardi Amir, Refriadi, Joni Arsuman dan Mardi. Sepintas mereka adalah orang-orang biasa yang dalam kesehariannya bekerja sebagai buruh serabutan.Tapi sesungguhnya mereka adalah mantan Anak Buah Kapal (ABK) berbagai kapal nelayan Jepang selama bertahun-tahun. Mereka sudah mengelilingi semua samudera di dunia. Menangkap tuna adalah spesialis mereka.“Kami pun pernah ambil tuna di perairan Indonesia tanpa orang
Indonesia tahu,” kata mereka bercerita kepada Johny Halim.
Selama delapan hingga dua belas tahun melanglang buana ke seluruh dunia, mereka menyadari bahwa rasa kebangsaan nyaris terbuang.Dari kejauhan mereka mendengar juga banyak penderitaan anak negeri karena kesulitan ekonomi. Sedang mereka bersenang-senang dengan gaji dolar. Tiap bulan mereka merapat di berbagai
kota besar dunia. “Untuk berfoya-foya,” kisah mereka. Sesungguhnya yang mereka peroleh hanya secuil kecil dari apa yang diperoleh para taipan kapal itu.
Kesadaran tentang martabat bangsa pun datang. Mereka memutuskan mudik ke
Padang. Hingga bersua dengan kelompok Johny dkk.
Di perairan Sumatra Barat misalnya, kini terdapat ribuan kapal nelayan yang harus nongkrong di berbagai dermaga lantaran tidak bisa melaut. Mereka tak melaut karena ketiadaan modal untuk berlayar. Harga BBM yang dinaikkan memukul mereka, belum lagi kebutuhan selama operasi dan harga pasar yang tidak dikuasai oleh mereka melainkan oleh para tengkulak.Pengijonan menjadi-jadi. Seorang nelayan diberi pinjaman oleh seorang induk semang. Lalu ia melaut, saat pulang dan membawa ikan mereka harus segera mengganti pinjaman berikut bunganya. Walhasil, jangankan untuk bisa saving, untuk kebutuhan harian saja bagi keluarganya harus berutang lagi.
Ada analogi yang diceritakan oleh seorang nelayan di pantai Bungus. Dulu ketika masih belum tinggi persaingan dan tekanan kemiskinan, seorang istri nelayan bisa mengupahkan cucian pakaiannya kepada tukang cuci dan tukang cuci pun bisa mendapat makan. Sekarang, seorang istri nelayan harus menerima upah cucian agar bisa makan. Ini sungguh ironis.
Kita ambil contoh seorang nelayan ‘kelas menengah ‘yang memiliki sebuah kapal tonda. Lalu ia mempekerjakan
lima nelayan tradisional. Menjelang berangkat pemilik kapal harus menyediakan biaya Rp7 juta. Dengan asumsi produksi normal, maka pulangnya mereka membawa lebih kurang 1,5 ton ikan. Ikan itu (dengan harga saat ini) dijual Rp8.000/kg, maka pendapatan kotor menjadi Rp12 juta. Dikurangi biaya retribusi, pendaratan dan sebagainya sekitar Rp2 juta maka tinggal Rp10 juta.
Lima nelayan tradisional yang sekaligus menjadi ABK Rp1.200.000. atau masing-masing Rp240 ribu.
Dari data-data itu sepintas terlihat bahwa nelayan cukup layak hidupnya. Baik yang jadi ABK apalagi yang jadi pemilik kapal.Menurut Johny Halim tiada jalan lain kecuali melakukan revitalisasi perikanan untuk kesejahteraan nelayan. Membangkitkan gairah nelayan untuk melaut lagi. Maka gagasan utama koperasi ini adalah melakukan modifikasi kapal tonda menjadi mini long liner. Apa harapan yang tersirat di balik itu? Bahwa selama ini kapal tonda yang jumlahnya ribuan tak bisa melaut, penghasilannya hanya cukup untuk makan.Selama ini kapal tonda hanya berhasil menangkap ikan-ikan yang tak bernilai ekspor. Tuna misalnya, hanya terjaring satu dua saja. Dengan modifikasi menjadi long liner maka kapal itu mulai menebar ribuan mata pancing. Ingat, pasar ekspor tuna dunia tidak akan menerima tuna-tuna yang mati dalam jaring. Bahkan selembar sisiknya saja tanggal, maka tuna tersebut pastilah akan masuk ketegori reject alias tak bisa masuk pasar ekspor. Pengetahuan seperti itu juga akan ditularkan oleh para fishing master eks Jepang tadi. Jika selama ini nelayan hanya mampu menangkap uikan berkelas Rp8000/kg, dengan menangkap tuna mereka bisa menjual sampai Rp34 ribu/kg.Sayang selain badai, jumlah nelayan yang menyadari bahwa ‘di laut kita kaya’ masih belum banyak. Buktinya baru enam kapal saja yang sudah jadi. Tetapi pentolan LSM macam Zukri Saad sudah sangat bangga dengan ini. Menurut Zukri yang mantan Direktur Eksekutif Walhi itu, upaya ini bukan sekedar mengajak nelayan jadi berdaya. “Tetapi lebih dari itu adalah untuk membangkitkan kesadaran kembali kepada nelayan menjaga lautnya sendiri dari jarahan asing. Kini saatnya nelayan
Indonesia bangkit dari kemiskinan, keterpurukan dan ketertinggalan teknologi. Tak usah salahkan lagi pemerintah, semuanya kini di tangan nelayan,” kata Zukri.
Layar sudah terkembang, saatnya menuju samudera luas.(eko yanche edrie)

Tidak ada komentar:

Hasil Tanam Padi Sabatang

Hasil Tanam Padi Sabatang
Hasil Penelitian selama 2 Tahun